DR. Sukamta, sekretaris FPKS DPR RI Jakarta - Persoalan konten media yang tidak sehat dan tidak mendidik yang mengemuka belakangan ini m...
DR. Sukamta, sekretaris FPKS DPR RI |
Sukamta, anggota Komisi I DPR RI, di sela-sela rapat Komisi I dengan TVRI, KPI serta Asosiasi Televisi Swasta Indonesia dan Asosiasi Televisi Jaringan Indonesia, Senin (7/3/2016) di Jakarta menyatakan, “Desakan masyarakat agar penayangan acara-acara di televisi atau bahkan radio yang menampilkan nuansa perilaku LGBT patut difollow up oleh pemerintah. Ini amanah konstitusi, bahwa penyiaran harus mengandung konten yang sehat dan mendidik. Saya kira KPI musti lebih kerja keras lagi untuk mengawasi hal ini, bekerja sama dengan Kominfo juga tentunya.”
Politisi dari Partai Keadilan Sejahtera ini menjelaskan bahwa dalam Undang-undang No. 32 tahun 2002 tentang penyiaran Pasal 4 disebutkan penyiaran memiliki fungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan yang sehat, kontrol dan perekat sosial. Karenanya pada Pasal 5 disebutkan bahwa penyiaran diarahkan untuk menjaga dan meningkatkan moralitas dan nilai-nilai agama serta jati diri bangsa dan meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Menampilkan tayangan-tayangan yang bernuansa perilaku LGBT menurut saya tidak sejalan dengan fungsi dan arah penyiaran tersebut.
“Mengenai beberapa kebudayaan kita yang seolah-seolah menampilkan nuansa perilaku LGBT di dunia penyiaran, ya kita percayalah KPI bisa memfilternya dengan bijak sesuai Pancasila. Contohnya seperti kesenian Ludruk yang pemainnya laki-laki semua, dan jika ada karakter perempuan yang dimainkan di situ maka pemain prialah yang berperan sebagai karakter perempuan tadi. Juga budaya Reog Ponorogo, Bugis yang mengenal 5 gender, cerita warok dan gembal dalam Serat Centini. Tapi kita musti gunakan akal sehat dan hati nurani dalam mencermati ini secara bijak, kita ambil yang baiknya saja. Cerita rakyat, yang merupakan bagian budaya kita seperti Malin Kundang yang durhaka kepada ibunya atau legenda Sangkuriang yang menikahi ibunya, khan tidak lantas kita contoh perbuatannya? Kita dituntut untuk bisa memilah mana budaya yang bisa dijadikan inspirasi dan mana yang tidak. Patokan kita adalah apakah budaya-budaya tersebut bertentangan dengan Pancasila sila pertama Ketuhanan Yang Mahaesa? Sabung ayam, judi, mabuk yang mungkin juga menjadi budaya dari sebagian etnis kita, tidak lantas kita anggap itu sebagai budaya nasional yang patut dicontoh kita semua bukan? Sekali lagi kita dituntut untuk bisa memfilter budaya dengan Pancasila tadi. Dan Undang-undang Penyiaran sendiri menekankan bahwa penyiaran memiliki fungsi serta arah untuk memajukan kebudayaan nasional, tapi juga ditujukan untuk terbinanya watak dan jati diri bangsa yang beriman dan bertakwa. Jadi persoalan ini jangan dipertentangkan,” ujar wakil rakyat dari Daerah Istimewa Yogyakarta ini.