Yogyakarta - Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan harus ditindaklanjuti secara serius. Masalah ini sangat penting dan su...
Yogyakarta - Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan harus ditindaklanjuti secara serius. Masalah ini sangat penting dan sudah dituangkan dalam Peraturan Daerah Propinsi DIY no 10 tahun 2011. Alih Fungsi lahan pertanian di DIY saat ini sudah sangat mengkhawatirkan, terutama di wilayah Bantul dan Sleman. Alih fungsi lahan yang terdata di DIY sekitar 0,37% per tahun, belum termasuk yang tidak terdata, jumlah sesungguhnya pasti lebih besar karena banyaknya bangunan yang menggunakan lahan sawah dan tidak berizin.
Masalahnya adalah perhatian pemerintah DIY maupun Kabupaten terkait masalah ini dinilai sangat kurang. Sebagai contoh, dalam LKPJ Gubernur tahun 2014 tidak disinggung masalah alih fungsi lahan pertanian yang artinya tidak ada program Dinas Pertanian terkait perlindungan Lahan Pangan Berkelanjutan di 2014. Dalam tabel – table LKPJ Gubernur juga tidak disajikan perbandingan luasan lahan pertanian dari tahun ke tahun, analisa tentang tidak tercapainya indicator capaian jumlah produksi pangan (94% dari target) juga tidak menyebutkan karena adanya lahan sawah yang beralih fungsi, padahal nyata – nyata alih fungsi tersebut terjadi di lapangan.
Pencermatan program dan kebijakan yang kami lakukan juga belum menunjukkan adanya tidak lanjut secara signifikan terhadap perda no 10 tahun 2011 ini. Tegas dicantumkan dalam perda bahwa lahan pangan berkelanjutan yang ditetapkan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah paling kurang seluas 35.911,59 hektar, dengan perincian Kabupaten Sleman paling kurang seluas 12.377,59 hektar, Kabupaten Bantul paling kurang seluas 13.000 hektar, kabupaten Kulonprogo paling kurang seluas 5.029 hektar, dan kabupaten Gunung Kidul paling kurang seluas 5.505 hektar. Luasan tersebut merupakan lahan inti yang harus dilakukan optimasi. Diluar itu masih terdapat lahan penyangga yang juga perlu ditetapkan untuk persiapan apabila terjadi alih fungsi lahan pertanian berkelanjutan karena bencana alam atau kepentingan umum.
Masalah utamanya adalah belum ada definisi secara tegas, sesuai mekanisme yang diatur dalam peraturan daerah dimanakah detilnya lahan yang harus ditetapkan tersebut. Penetapan lahan tersebut harus melalui mekanisme sosialisasi kepada petani pemilik lahan, inventarisasi petani yang besedia lahannya ditetapkan, kesepakatan bersama, penandatanganan perjanjian, dan berbagai koordinasi dengan pemerintah. Tahapan tahapan ini juga belum terlihat dilakukan secara massif oleh pemerintah DIY maupun pemerintah kabupaten.
FPKS mendorong agar tahapan tahapan pelaksanaan perda perlindungan lahan pangan berkelanjutan segera dilaksanakan secara massif, sebelum gelombang alih fungsi lahan terjadi di DIY. Selain itu, semakin lama penetapan ini tertunda akan memerlukan biaya semakin mahal dan semakin sulit dilakukan. Tahapan – tahapan penetapan ini juga harus berkoordinasi secara aktif dengan pemerintah kabupaten, karena kewenangan juga di mereka.
Sebagai tindak lanjut LKPJ Gubernur tahun 2014, FPKS minta agar dalam perubahan APBD tahun 2015 dan RKPD APBD tahun 2016 disusun program program yang signifikan terkait penetapan dan tindak lanjut perda no 10 tahun 2011. Semestinya tahun 2016 sebagian besar luasan lahan yang diamanatkan dalam perda bisa ditetapkan, kemudian ditindaklanjuti dengan program intensifikasi dan optimasi. FPKS yakin apabila optimasidan intensifikasi dilakukan, kesejahteraan petani akan semakin baik, dan lebih adil bagi warga yang mempertahankan lahannya untuk tidak dialih fungsi.
Huda Tri Yudiana
Anggota Pansus LKPJ Gubernur 2014
Anggota FPKS DPRD DIY